Myanmar - Biarpun sudah membuka roaming internasional,
mencari koneksi data via ponsel di Myanmar ternyata tidak gampang --
kecuali Anda rela membeli SIM Card lokal seharga Rp 2 juta!
Yangon
dan Naypyidaw (juga disebut dengan Nay Pyi Taw) adalah dua kota besar
di Myanmar yang juga akan menggelar SEA Games 2013. Dalam perjalanan
panjang di antara dua kota itu pula tak ada sinyal dari provider
telekomunikasi selular Indonesia yang saya gunakan, kendati pun laman
provider itu menyebutkan Myanmar sebagai salah satu negara yang menjadi
rekanannya.
Berkesempatan menyambangi Myanmar pada awal pekan ini
-- atas undangan Fortune PR guna menyaksikan dari dekat persiapan
negara tersebut menjadi tuan rumah SEA Games 2013 -- saya seperti
biasanya terlebih dulu mencari tahu sejumlah informasi mengenai negara
yang dituju. Karena berkaitan dengan pekerjaan, salah satu hal yang saya
cari di situs pencari Google pun adalah urusan telekomunikasi dan SIM
Card.
Mengingat Myanmar adalah salah satu negara yang dinilai
"tertutup" maka saya cukup lega mendapati bahwa medio pertengahan tahun
ini ada sebuah artikel lokal yang menyebut bahwa negara itu mulai
membuka diri dalam hal telekomunikasi dan internet.
Kelegaan
bertambah ketika melihat bahwa provider SIM Card yang saya gunakan di
Indonesia ternyata menyertakan Myanmar sebagai salah satu rekannya. Toh,
sejauh ini provider yang saya gunakan memang selalu tetap bisa
digunakan di luar negeri -- meskipun terkadang sebatas 2G.
Maka
ketika baru mendarat di Yangon hari Senin (17/12/2012) lalu, saya pun
masih tenang-tenang saja ketika mendapati ponsel saya tak juga bisa
mengunci layanan provider setempat yang disebutkan menjadi rekanan
provider saya. Ah biasalah, butuh waktu saja, begitu pikir saya ketika
itu.
Dengan jadwal yang cukup padat, segera setelah tiba di
Yangon saya dan lima rekan yang sama-sama berangkat dari Jakarta pun
langsung bergerak menuju Naypyidaw, ibukota Myanmar sejak 2005, dengan
menggunakan jalan darat. Jarak yang kami tempuh kurang lebih sekitar 400
km.
Di beberapa kilometer awal perjalanan, bukan cuma saya yang
rupanya terus-menerus mengecek sinyal ponsel kami yang masih tersemat
SIM Card dari Indonesia. Keempat rekan saya -- tiga menggunakan provider
GSM yang sama dengan saya dan satu menggunakan provider GSM lain -- pun
ternyata melakukan hal serupa.
Hasilnya? Sama-sama "
Emergency Calls Only" alias tak bisa digunakan karena tidak mendapat jaringan.

Berusaha
menerima keadaan, dengan situasi dan kondisi Myanmar yang tentu saja
kami ketahui berbeda dengan di Indonesia, kami pun satu per satu mulai
memencet tombol flight mode atau sekalian mematikan ponsel kami demi
menghemat baterai.
Akan tetapi, secepat itu pula kami memencet
tombol lain jika di tengah perjalanan menemui rest area yang ternyata
menyediakan WiFi gratis. Maklum, kami datang juga karena urusan
pekerjaan.
"Kecekatan" kami itu tatkala mendapati adanya spot
WiFi ternyata membuat tour guide kami yang orang lokal, Zaw Jar, sampai
kebingungan -- meski belakangan paham dan mulai cengar-cengir jika
melihat kejadian serupa.
Bagusnya, sepanjang perjalanan selama
sekitar 5,5 jam itu pula, dari Yangon sampai Naypyidaw via "jalan tol",
yang meskipun berlajur amat lebar, cenderung lurus, dan cukup mulus,
tetapi banyak tidak disertai lampu penerangan jalan, kami jadi lebih
banyak ngobrol dan bersenda gurau alih-alih sibuk dengan ponsel kami
sendiri. Yah, hitung-hitung jadi lebih mengakrabkan diri.
Lantas, kenapa tidak membeli SIM Card lokal saja, lalu berlangganan koneksi data di daerah setempat?
Myanmar
– berjulukan Negeri Seribu Pagoda, seperti halnya Thailand – faktanya
belum menjadi negara yang "haus koneksi internet". S
ebuah
artikel di Wikipedia yang mengutip Myanmar Post and Telecommunications
(MPT), menyebut bahwa tahun 2010 pengguna internet negara itu bahkan
belum mencapai 1% dari penduduknya dan baru mulai menggeliat di tahun
2012 ini seiring dengan "sinyal keterbukaan" di Myanmar -- maka mobile
internet pun bukan menjadi hal yang mudah didapat, katakanlah, seperti
di Jakarta.
Pertama-tama, untuk sebuah SIM Card seperti yang
lazim digunakan di Jakarta dan menyediakan koneksi data internet, kita
mesti menyiapkan paspor dan tebusan sekitar 200 ribu Kyat -- mata uang
Myanmar. Berapa jika dirupiahkan? Sekitar Rp 2,2 juta!
Ada pula
jenis SIM Card lain yang jauh lebih murah dengan banderol harga sekitar
15 ribu-20 ribu Kyat (Rp 169-225 ribu). Yang menjadi masalah, SIM Card
jenis ini tak bisa dipergunakan untuk koneksi data dan juga tidak bisa
diisi ulang jika nominal yang disediakan sudah habis.
SIM Card dan SEA GamesHarga
SIM Card di Myanmar memang masih terbilang tinggi dibandingkan dengan
sejumlah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Tetapi dengan adanya SEA
Games akan dilangsungkan tahun depan, pemerintah Myanmar kini sudah
berencana menjual SIM Card murah seharga sekitar 15 dolar AS (sekitar Rp
144 ribu) dengan kemampuan yang lebih oke dan dapat diisi ulang, yang
mana sebelumnya cuma bisa didapat dengan harga 10 kali lipat.
Namun
demikian, SIM Card itu kabarnya cuma akan bisa dibeli oleh orang asing
yang datang ke Myanmar saja alias bukan untuk penduduk lokal. Artinya,
atlet, ofisial, dan media peliput asing akan mendapat kemudahan yang
belum bisa dinikmati warga lokal.
Secara bertahap, setelah SEA
Games 2013, Pemerintah setempat juga disebutkan bakal berusaha
menyediakan SIM Card murah secara luas, seiring dengan masuknya sejumlah
investor asing belakangan ini. Usaha itu juga tidak lepas dari adanya
ASEAN Summit pada tahun 2014 di Myanmar dan kemudian Pemilu 2015 di
negara tersebut.
Maka, bukan tak mungkin jika suatu waktu kami
berkesempatan datang lagi ke Myanmar dan kembali bertemu Zaw Jar, pria
yang mengaku bernama Inggris 'Lucky Star' itu nantinya sudah akan lebih
sering terpaku dengan ponselnya, sebagaimana kami dalam perjalanan kali
ini. Boleh jadi saat itu giliran kami yang akan mengulum senyum atau
malah tertawa kecil.